Dalam sistem presidensial capres mendapatkan mandat langsung dengan cara dipilih oleh rakyat, dan cabang kekuasaan legislatif serta yudikatif (seharusnya) tidak mempengaruhi proses pencalonan itu.
Ketentuan ambang batas pencalonan capres-cawapres oleh partai politik (parpol) terus berpolemik. Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunissa Nur Agustyati, mencatat sedikitnya ketentuan itu sudah belasan kali diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Aturan tersebut termuat dalam Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat parpol peserta pemilu dalam mengusung pasangan capres-cawapres harus memperoleh kursi sebanyak 20% di parlemen atau perolehan suara nasional sebanyak 25% berdasarkan hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya. Perludem pernah mengajukan permohonan pengujian ke MK pada tahun 2017.
Perempuan yang disapa Ninis itu mengatakan sampai saat ini belum melihat ada kaitannya antara syarat ambang batas pencalonan capres-cawapres itu dengan penguatan sistem presidensialisme yang dianut Indonesia.
Dalam sistem presidensial capres mendapatkan mandat langsung dengan cara dipilih oleh rakyat, dan cabang kekuasaan legislatif serta yudikatif tidak mempengaruhi proses pencalonan itu.
“Jika ambang batas pencalonan itu mengacu hasil pemilu DPR sebelumnya, maka tidak sejalan dengan semangat sistem presidensialisme,” kata Ninis dalam webinar bertajuk “Muslihat Ambang Batas Pencalonan Presiden?”, Senin (7/2/2022).
Menurut Ninis, syarat ambang batas pencalonan capres-cawapres mengacu hasil pemilu DPR sebelumnya tidak tepat karena pemilu yang dihadapi ke depan jelas berbeda dengan sebelumnya. Apalagi akan digelar pemilu serentak yakni pemilihan capres-cawapres (eksekutif) dan legislatif dalam satu hari yang sama.
Jika ketentuan ambang batas pencalonan capres-cawapres itu dihapus Ninis menyebut akan banyak pasangan calon yang diusung parpol peserta pemilu. Apalagi, tidak mudah bagi parpol untuk menjadi peserta pemilu.
Selain harus memenuhi persyaratan administratif sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM, parpol juga wajib lolos proses verifikasi faktual oleh KPU.
Verifikasi faktual itu tidak berlaku bagi parpol yang sudah memiliki kursi di DPR. Mengingat syarat parpol untuk menjadi peserta pemilu sangat ketat, Ninis berpendapat ambang batas pencalonan capres-cawapres seharusnya tidak diperlukan lagi.
Peneliti PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai ambang batas pencalonan capres-cawapres tidak dikenal dalam sistem presidensial. Dia memberikan contoh sejumlah negara, seperti Rusia dan Amerika Serikat yang menggunakan sistem presidensial tidak mengenal ambang batas tersebut, sehingga banyak capres-cawapres yang muncul dalam pemilu.
Feri menyebut UUD RI Tahun 1945 juga tidak mengenal ambang batas pencalonan capres-cawapres. Konstitusi hanya mengatur ambang batas bagi capres-cawapres untuk bisa terpilih menjadi capres-wapres. “Maka janggal kalau ambang batas pencalonan capres-cawapres masuk dalam UU kepemiluan kita, seperti termuat dalam Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,” katanya.
–
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/ambang-batas-pencalonan-presiden-dinilai-tak-dikenal-dalam-sistem-presidensial-lt620207abb9a9d/?page=all