KONFERENSI NASIONAL HUKUM TATA NEGARA KE-4

Sejak lahirnya Negara Republik Indonesia dengan proklamasi kemerdekaan, serta ditetapkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusinya, maka terbentuklah pula sistem norma hukum Negara Republik Indonesia (Maria Farida, 2008:39). Dalam pandangan Hans Kelsen serta Hans Nawiaski hukum merupakan suatu sistem yang hierarkis. Tatanan hukum bukanlah sebuah sistem norma yang terkordinir yang berkedudukan sama, melainkan sebuah hierarki norma hukum  dengan berbagai jenjang (Hans Kelsen, 2011:5) Sebagai negara yang terpengaruh oleh sistem civil law, eksistensi hukum formil tertulis mendapatkan tempat yang utama di Indonesia. Sebab salah satu karakteristik dari sistem civil law adalah hukum yang diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan mengikat serta tersusun secara sistemik dan terkodifikasi.

Seiring berjalannya waktu, dengan pengaruh sistem civil law yang masih bertahan hingga saat ini, Indonesia pun mengalami sebuah permasalah pembengkakan jumlah regulasi yang tak terkendali (obesitas regulasi). Menurut Data Kementerian Hukum dan HAM per Oktober 2016 terdapat kurang lebih 62 (enam puluh dua) ribu peraturan perundang-undangan tersebar di berbagai instansi. (Detik.Com, 28 Oktober 2016). Dampak obesitas regulasi ini adalah percepataan pembangunan dan peningkatan pelayanan publik menjadi terhambat akibat peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak harmonis, tidak sinkron dan saling tumpang tindih.

Terhadap gejala obesitas regulasi ini Presiden Joko Widodo sejak awal memerintah sudah berulang kali menegaskan bahwa semua kementerian/lembaga/pemerintah daerah harus mulai menghentikan kebiasaan membentuk peraturan perundang-undangan yang sesungguhnya tidak diperlukan agar dapat mengurangi gejala obesitas regulasi (jumlah peraturan perundang-undangan yang terlalu banyak), namun kebijakan Presiden tersebut ternyata belum sepenuhnya efektif. Kementerian dan lembaga masih ambisius untuk membentuk peraturan perundang-undangan.

Sebagai contoh Kementerian Dalam Negeri, yang di tahun 2015 tercatat membentuk 81 Peraturan Menteri, ternyata di tahun 2016 telah membentuk 112 Peraturan Menteri. Berikutnya Kementerian perdagangan yang di Tahun 2016 telah membentuk 88 Peraturan Menteri, sampai pertengahan tahun 2017 (Juni) saja telah membentuk 42 Peraturan Menteri. Hal ini menunjukkan belum ada perubahan signifikan mengenai kuantitas regulasi yang dibentuk. Tidak hanya di tingkatan pemerintah pusat, pada tingkatan daerah gejala ambisius membentuk regulasi juga masih terjadi. Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemda) masih menunjukkan angka yang tinggi. Sebagai contoh Propemda Provinsi lampung Tahun 2017 menetapkan rencana 37 rancangan peraturan daerah (Raperda) yang menjadi prioritas dibentuk 1 tahun.

Berikutnya kinerja legislasi yaitu pembahasan UU oleh DPR bersama dengan Presiden juga belum sesuai harapan publik mengingat terlalu banyaknya target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disepakati oleh DPR dan Pemerintah (sebagai contoh DPR 2014-2019 menetapkan target 159 UU), akibatnya DPR dan Pemerintah tidak bisa fokus membahas suatu RUU secara mendalam terutama perihal keselarasan dan kesesuaiannya dengan ketentuan dalam UUD 1945.  Pembahasan RUU yang tidak hati-hati selama ini menyebabkan jumlah ketentuan dalam UU yang dibatalkan oleh MK cukup tinggi, sebagai contoh pada tahun 2016 dari 86 Perkara yang telah diputuskan oleh MK sebanyak 19 permohonan dikabulkan (sebesar 22 Persen), sementara sisanya ditolak atau tidak diterima.

Selain perintah Presiden untuk mulai menghentikan kebiasaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlebihan, upaya melakukan penataan peraturan perundang-undangan telah ditempuh pemerintah diantaranya Pada Tahun 2016 Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 Perda bermasalah yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, menghambat proses perizinan dan investasi, menghambat kemudahan berusaha dan bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi. Upaya lainnya yang telah ditempuh adalah Presiden meminta para menteri bisa lebih dulu berkoordinasi dalam rapat terbatas (ratas) kabinet sebelum menerbitkan peraturan menteri (permen) yang berdampak luas di masyarakat (Kompas.Com, 2 November 2015).

Berbagai upaya Pemerintah dalam melakukan penataana regulasi oleh sejumlah kalangan dinilai langkah yang baik, namun belumlah mampu menyelesaikan sumber masalah. Hal ini dikarenakan obesitas regulasi tidak hanya di tingkat daerah, justru di tingkat pusat obesitas regulasi terjadi utamanya di level Peraturan Menteri (Saldi Isra. Kompas, 13 Maret 2017). Untuk itu langkah merampingkan regulasi dengan cara membatalkan peraturan daerah hanya akan sedikit membantu mengatasi persoalan obesitas regulasi. Apalagi dalam perkembangannya pada 4 April 2017 dan 14 Juni 2017 MK telah menyatakan kewenangan pembatalan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur dan Perda Provinsi oleh Menteri sebagaimana diatur dalam UU 23/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut MK demi kepastian hukum pengujian atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan Mahkamah Agung.

Menurut sejumlah pihak penataan regulasi perlu dilakukan mulai hulu sampai hilir. Untuk hulu penataan regulasi bisa mulai memikirkan mempersempit ruang pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak terkendali seperti peraturan menteri. Caranya adalah seperti halnya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, maka setiap rancangan peraturan menteri harus mengikuti proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM RI. Untuk hilir, mengingat persoalan obesitas regulasi di Indonesia sudah sangat akut dan tingginya ego sektoral masing-masing kementerian, maka upaya meminta masing-masing kementerian untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang telah dibentuknya (executive review) kemudian dengan sadar mencabutnya sendiri rasanya sulit dilakukan. Untuk itu Presiden perlu memikirkan opsi pembentukan Tim Khusus yang bersifat ad hoc yang dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagai kementerian yang bertanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan untuk melakukan penataan regulasi dengan melakukan evaluasi peraturan perundang-undangan tingkat pusat di bawah Undang-Undang untuk kemudian memberikan rekomendasi pencabutan kepada Presiden terhadap regulasi yang terbukti bermasalah. Model penataan regulasi melalui tim khusus yang dibentuk oleh kepala pemerintahan ini jamak diterapkan di berbagai negara yang melakukan reformasi regulasi.

Selain berlebihan/ambisiusnya kementerian/lembaga dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang sesungguhnya tidak terlalu dibutuhkan, penyebab obesitas regulasi juga dikarenakan terlalu luasnya Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menggolongkan peraturan lembaga tertentu yang sebenarnya tidak memenuhi kuafikasi peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari jenis peraturan perundang-undangan. Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 mengatur Jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang diatur Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Keberadaan Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 ini menimbulkan permasalahan mengingat tidak semua jenis peraturan yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Keberadaan Pasal 8 ayat (1) telah memberikan pemahaman baru bahwa semua peraturan seperti peraturan MPR, peraturan DPR, peraturan DPD, peraturan MA, peraturan MK masuk kategori peraturan perundang-undangan sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Padahal tidak semua lembaga tersebut dapat membuat peraturan yang mengikat ke luar.

Di manapun dalam sistem negara yang berdasarkan hukum syarat yang pertama adalah pengadilan itu tidak boleh membuat peraturan yang bersifat umum dan mengatur keluar. Keberadaan Peraturan MA, Peraturan MK itu tidak boleh bersifat perundang-undangan artinya tidak boleh mengikat keluar. Keberadaan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh kekuasaan yudikatif seperti peraturan MA juga menimbulkan potensi kesewenang-wenangan dan melanggar prinsip supremasi konstitusi mengingat peraturan tersebut tidak dapat menjadi objek pengujian di pengadilan. Tentu tidak mungkin MA akan mengadili permohonan judicial review pengujian Perma apabila diajukan oleh warga negara mengingat MA pula yang membentuk Perma tersebut, padahal sesuai UUD 1945 pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU adalah wewenang MA untuk mengadilinya.

Keberadaan Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 juga berimplikasi kepada hierarki peraturan perundang-undangan, hal ini mengingat peraturan yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undang oleh Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 belum jelas penempatannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Belum masuknya semua jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana disebut Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 akan menyulitkan dalam pelaksanaannya dan pengujiannya di badan peradilan. Sebagai contoh dimanakah letak Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Badan, Peraturan lembaga, atau Peraturan komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang. Atas permasalahan mengenai jenis dan hieraki peraturan perundang-undnagan dalam UU 12/2011 maka perlu dilakukan usaha penyempurnaan. Penyempurnaan dapat dilakukan dengan melakukan penataan terhadap Pasal 7 dan Pasal 8 UU 12/2011 melalui perubahan UU 12/2011 yang saat ini draft nya sedang dipersiapkan oleh Pemerintah.

Informasi lebih lanjut mengenai Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-4 dapat diunduh di SINI

Ketentuan pendaftaran serta pedoman penulisan bagi peserta call papers dapat diunduh di SINI

Formulir pendaftaran peserta non call papers dapat diunduh di SINI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top