PRESS RELEASE : Presiden dan DPR RI: Memperkuat Pelemahan KPK

Pada konferensi pers yang digelar di Istana, Jakarta, Jumat (13/9/2019), Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa terdapat empat poin yang tidak disepakatinya dalam draft Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan beberapa poin perubahan yang diusulkan oleh Pemerintah terhadap sejumlah pasal dalam DIM RUU KPK. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas berpandangan bahwa beberapa poin perubahan atas RUU KPK yang diusulkan oleh pemerintah  berpotensi untuk melemahkan KPK, yaitu:

  1. Status Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi

Pada Pasal 1 ayat (7) RUU KPK yang disulkan oleh DPR, menjelaskan bahwa Pegawai KPK adalah Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. Namun pemerintah memberikan usul perubahan atas nomenklatur ketentuan tersebut dengan menyatakan bahwa Pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ketentuan yang diusulkan oleh Pemerintah tersebut berpotensi menghilangkan independensi KPK sebagai sebuah kelembagaan. Status dari seluruh Pegawai KPK yang merupakan ASN menempatkan pegawai KPK berada dibawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hal tersebut memperkuat posisi KPK yang tidak lagi menjadi lembaga independen, namun berada dibawah kekuasaan eksekutif. Seperti dijelaskan Pasal 1 angka 3 RUU KPK yang menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau KPK adalah lembaga pemerintah pusat yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan UU ini.

  1. Bias Pengaturan tentang Dewan Pengawas

Pemerintah mengusulkan agar Ketua dan Anggota Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden. Ketentuan tersebut berbeda dengan draft RUU KPK yang diinisiasi oleh DPR yang mengusulkan ketua dan Anggota Dewan Pengawas dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden. Ketentuan tersebut memperkuat rancangan posisi KPK yang akan diletakkan dibawah kekuasaan eksekutif.

Termasuk kewenangan Dewan Pengawas untuk memberikan izin melakukan penyadapan. Pemerintah mengusulkan agar Penyadapan baru dapat dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas. Kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan akan dapat diintervensi oleh pemerintah karena RUU KPK menempatkan KPK sebagai sebuah lembaga pemerintah pusat yang otomatis menempatkannya sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif.

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas berpendapat bahwa usulan perubahan draft RUU KPK yang diusulkan oleh pemerintah sama sekali tidak memenuhi agenda penguatan KPK, namun secara langsung akan membunuh independensi KPK dengan meletakkan KPK sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif. Sehingga dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya KPK akan rentan untuk diintervensi.

Demikian press release media ini disampaikan, terima kasih.

Padang, 16 September 2019

Salam,

Tim Peneliti PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas

Narahubung :

Hemi Lavour Febrinandez, S.H. (Peneliti Lembaga di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas) : 0812-6693-6189

DOWNLOAD PRESS RELEASE

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top