PRESS RELEASE : Evaluasi Rencana Penambahan Jumlah Kursi DPR

Pendahuluan

Salah satu isu krusial yang kini tengah dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu adalah penambahan jumlah kursi DPR. Komisi II DPR mengusulkan penambahan jumlah alokasi kursi DPR sebanyak 19 kursi dari 18 daerah pemilihan (dapil). Dengan penambahan itu, kursi DPR yang saat ini berjumlah 560 akan menjadi sebanyak 579 kursi untuk periode 2019-2024.

Menurut Wakil Ketua Pansus Pemilu Benny K. Harman, Pansus RUU Pemilu telah memperhitungkan luasan daerah, pertambahan penduduk, serta adanya beberapa daerah pemekaran baru yang melatari rencana penambahan kursi. Kata Benny, alokasi kursi di setiap daerah pemilihan (dapil) yang dipakai selama ini didasarkan pada jumlah penduduk. Luas wilayah dan kondisi geografis tidak diperhitungkan. Pansus RUU Pemilu ingin mengubah sistem itu. Berdasarkan hasil pembahasan di Pansus, kemudian disepakati penambahan jumlah 19 kursi setelah memperhitungkan luasan geografis dan munculnya beberapa daerah pemekaran baru (rmol.co : 17/4/2017)

Selain itu, Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Ahmad Riza Patria mengatakan, penambahan kursi sesuai dengan semakin banyaknya penduduk di Indonesia. Sebab yang terjadi selama ini, satu anggota DPR RI bisa mewakili 700 ribu penduduk di satu provinsi. Sehingga tidak efektif dalam menyerap aspirasi (merdeka.com : 17/5/2017). “Sementara itu Pemerintah baru setuju lima tambahan kursi, masukan (jumlah kursi) yang terhormat anggota DPR sedang pemerintah kaji detailnya dulu,” kata Mendagri, Tjahjo Kumolo (kompas.com : 24/4/2017).

Dengan realitas penyelenggaraan fungsi legislasi DPR serta perkembangan kehidupan bernegara saat ini, apakah penambahan jumlah kursi DPR memang diperlukan guna meningkatkan efektifitas kinerja DPR sebagai lembaga perwakilan?

 

Perubahan Metode

Rencana penambahan jumlah kursi DPR untuk alasan efektifitas kinerja penyerapan aspirasi lembaga perwakilan dapat dinilai dan ditimbang dengan menggunakan beberapa pendekatan.

Pertama, dengan menggunakan pendekatan sejarah penentuan jumlah kursi DPR. Sejak pemilu pertama tahun 1955, alokasi kursi DPR ditentukan berdasarkan jumlah penduduk. Dengan menggunakan indikator penambahan jumlah pendudukan sebagai basis penentuan jumlah kursi DPR, dari pemilu ke pemilu, jumlah kursi DPR terus mengalami kenaikan.

Sepanjang sejarah Pemilu Indonesia, telah dilakukan empat kali penambahan jumlah kursi anggota DPR, yaitu dari 260 pada pemilu 1955 menjadi 460 pada Pemilu 1971. Jumlah tersebut bertahan selama tiga kali pemilu (1971-1982) dan ditambah menjadi 500 kursi pada pemilu 1987. Jumlah 500 kursi bertahan selama empat kali pemilu (1987, 1992, 1997, dan 1999). Pada Pemilu 2004, jumlah tersebut kembali ditambah sebanyak 50 kursi hingga menjadi 550 kursi. Pada Pemilu 2009 kembali ditambah 10 kursi hingga menjadi 560 kursi dan jumlah tersebut bertahan hingga saat ini.

Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pendudukan Indonesia adalah sebanyak 237.641.326 jiwa. Di mana, berdasarkan data yang dipublikasikan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pertumbuhan pendudukan per tahun mencapai 1,49 persen atau lebih kurang 4,5 juta jiwa per tahun. Jika sedemikian, berbasis data sensus 2010 ditambah jumlah penambahan rata-rata pendudukan selama 6 tahun terakhir, maka jumlah penduduk Indonesia saat ini lebih kurang sebanyak 264.641.326 jiwa. Dengan demikian, satu orang wakil di DPR hanya mewakili sebanyak 472.573 jiwa.

Penambahan jumlah kursi anggota DPR karena terjadinya penambahan jumlah penduduk sama sekali tidak berhubungan dengan efektifitas kinerja DPR. Sebab, dalam tiga periode terakhir, di bidang legislasi, DPR masih dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu : (1) kualitas UU yang dihasilkan belum memadai sehingga kurang memberi manfaat langsung bagi masyarakat; (2) Target jumlah penyelesaian RUU yang ditetapkan dalam Prolegnas belum terpenuhi; (3) Proses pembahasan RUU kurang transparan, sehingga sulit diakses oleh masyarakat (Laporan Hasil Tim Peningkatan Kierja DPR, 2006). Hingga saat ini, persoalan tersebut masih belum terpecahkan dan terus menjadi pekerjaan rumah DPR.

Selain itu, dengan adanya penambahan jumlah anggota DPR, kinerja pengawasan DPR juga masih dihadapkan pada masalah yang sama seperti : rendahnya efektifitas pengawasan, pengawasan yang tidak tepat sasaran, aspirasi masyarakat saat melakukan pengawasan tidak ditindaklanjuti dan belum efektifnya fungsi check and balances.

Masalah kinerja DPR, termasuk dalam menyerap aspirasi masyarakat sama sekali bukan karena keterbatasan atau kurangnya jumlah anggota DPR, melainkan lebih karena faktor bahwa fungsi-fungsi yang dimiliki belum dijalankan secara baik dan maksimal oleh seluruh anggota DPR. Hal itu bisa disebabkan sumber daya manusia anggota DPR, lemahnya nilai dan semangat perjuangan dan faktor-faktor lain di luar persoalan jumlah anggota.

Dengan demikian, dari pendekatan sejarah, kebijakan penambahan jumlah kursi DPR bukanlah faktor penentu efektif atau tidaknya kinerja DPR. Oleh karena itu, penambahan jumlah kursi DPR karena alasan makin bertambahnya jumlah penduduk dan makin banyaknya penduduk yang mesti diwakili sama sekali tidak dapat diterima. Lebih jauh, alasan pertambahan jumlah pendudukan tidak lagi relevan dijadikan alasan di tengah makin majunya aturan dan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat yang dapat dilakukan.

Kedua, pendekatan perbandingan. Dengan 264.641.326 jiwa jumlah penduduk dengan 1.990.250 Km2 luas wilayah, Indonesia memiliki sebanyak 560 wakil di DPR. Dibandingkan negara-negara demokrasi besar lainnya, jumlah anggota DPR RI tersebut tergolong banyak. Sebab, India dengan jumlah pendudukan sebanyak 1.307.010.000 jiwa dengan 3.287.590 Km2 luas wilayah, hanya memiliki sebanyak 552 kursi DPR. Artinya, di India satu orang wakil mewakili sebanyak 2.367.771 jiwa pendudukan. Begitu juga Amerika Serikat, dengan 325.988.000 jiwa penduduk dengan luas wilayah 9.629.091 Km2 cuma memiliki 435 kursi. Artinya, satu kursi mewakili 749.398 jiwa.

Dibandingkan Indonesia saat ini, di mana satu kursi mewakili lebih kurang 472.573 jiwa, India dan Amerika tentu jauh lebih kompleks. Lembaga perwakilan dua negara tersebut tentu juga pernah di dihadapkan pada persoalan yang dihadapi oleh DPR RI. Hanya saja, jalan keluar yang diambil bukanlah menambah jumlah anggota DPR, melainkan mengambil langkah lain yang lebih efektif seperti peningkatan kapasitas anggota, kaderisasi anggota partai politik dan peningkatan komitmen anggota lembaga perwakilan.

Dengan membandingkan kondisi Indonesia dengan dua negara demokrasi besar lain yang berada di atas Indonesia itu, pilihan kebijakan untuk menambah jumlah anggota DPR juga tidak mendapatkan alasan pembenar. Alih-laih menambah, justru pengurangan yang perlu dipertimbangan, yaitu pengurangan ke angka 500 kursi seperti yang diterapkan pada periode 1999 dan tiga periode sebelumnya atau mungkin juga ke angka 460 orang. Sebab, jumlah yang lebih banyak justru makin menyulitkan proses pengambilan keputusan politik di DPR. Justru dengan jumlah yang lebih sedikit, pengambilan keputusan politik di DPR akan berjalan lebih efektif.

Ketiga, konseptual. Setidaknya dikenal dua metode penentapan jumlah anggota lembaga perwakilan politik, yaitu metode kuota satu kursi dan metode penetapan jumlah kursi (fixed seats). Pada metode pertama, ditentukan kuota penduduk untuk satu kursi perwakilan di DPR. Dengan begitu, jumlah kursi DPR akan ditetapkan setelah diketahui berapa jumlah penduduk. Dengan metode ini, jumlah anggota akan mengalami perubahan seiring dengan penambahan jumlah penduduk. Sementara untuk metode kedua, jumlah anggota lembaga perwakilan ditetapkan terlebih dahulu, baru kemudian dibagi dengan jumlah penduduk untuk mengetahui kuota atau nilai satu kursi di DPR.

Sebagai negara yang terus berkembang dengan tingkat penambahan penduduk mencapai 4,5 juta per tahun, sudah saatnya Indonesia mengubah metode penetapan jumlah kursi DPR dari metode kuota satu kursi ke metode fixed seats. Dengan perubahan itu, apabila terjadi penambahan jumlah penduduk, bukan jumlah kursi lembaga perwakilan yang mesti ditambah melainkan kinerja masing-masing anggota lembaga perwakilan yang harus ditingkatkan. Artinya, penambahan jumlah pendudukan tidak lagi harus ditindaklanjuti dengan menambah jumlah anggota DPR. Sebab, menambah jumlah anggota DPR justru akan memperberat beban negara disamping beban bertambahnya jumlah penduduk yang terus dihadapi.

Lebih jauh, Indonesia sesungguhnya juga masih menghadapi persoalan ketidakpastian jumlah penduduk. Sejak kemerdekaan hingga saat ini, data kependudukan masih simpang siur. Belum ada data pasti yang diyakini kebenarannya. Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin jumlah kursi anggota DPR dapat ditetapkan secara akurat. Oleh karena itu, mempertimbangkan untuk meninggalkan metode pertama patut dilakukan.

Sebagai perbandingan, Amerika Serikat awalnya juga menggunakan metode kuota satu kursi dalam menentukan jumlah anggota House of Representative-nya, di mana satu kursi mewakili 30.000 jiwa. Namun karena alasan terus bertambahnya jumlah pendudukan, negara ini justru mengubah metode penetapan jumlah kursi DPR mereka dengan menetapkan sebanyak 435 jursi dan hingga saat ini jumlah tersebut masih dipertahankan. Pengalaman Amerika patut dijadikan acuan dalam mempertimbangkan apakah jumlah kursi DPR RI yang sudah tergolong banyak masih harus ditambah atau cukup dipertahankan seperti saat ini atau mungkin dikurangi ke angka 500 kursi atau 460 kursi sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Keempat, beban anggaran. Penambahan jumlah kursi DPR juga akan berimplikasi pada penambahan beban anggaran DPR. Saat ini, total penghasilan (take home pay) satu orang anggota DPR yang berasal dari gaji, tunjangan, penerimaan lain-lain, biaya perjalanan, dan lain-lain mencapai Rp. 1 miliar per bulan. Apabila dilakukan penambahan sebanyak 19 kursi, maka beban keuangan negara akan bertambahan sebanyak Rp. 19 Milyar per bulan atau Rp. 228 Milyar per tahun. Jumlah tersebut belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan negara untuk tenaga ahli, asisten pribadi dan biaya lainnya. Penambahan beban keuangan negara tersebut justru tidak dengan jaminan bahwa penambahan jumlah kursi akan menggenjot kinerja DPR. Dengan alasan itu, penambahan jumlah kursi justru akan menambah persoalan baru terkait beban keuangan negara di tengah kondisi rakyat membutuhkan perhatian negara dengan mengalokasi uang negara untuk kebutuhan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dengan empat pertimbangan di atas, tidak satupun argumen yang memperkuat alasan untuk menambah jumlah kursi anggota DPR. Oleh karena itu, mengurungkan rencana penambahan jumlah kursi akan jauh lebih baik bagi peningkatan kinerja dan efektifitas pelaksanaan tugas-tugas DPR sebagai representasi politik rakyat. Pada saat yang sama, dalam pembahasan RUU Pemilu yang sedang berlangsung, DPR patut mempertimbangkan untuk menetapkan jumlah pasti (fix) kursi DPR RI sebanyak yang ada saat ini atau kembali menjadi 500 kursi atau 460 kursi.

Realokasi Kursi DPR

Jika tidak dilakukan penambahan jumlah kursi, lalu bagaimana menjawab persoalan belum proporsionalnya alokasi kursi DPR? Saat ini, beberapa daerah pemilihan (dapil)memiliki jumlah alokasi kursi yang berlebih atau over representated dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Salah satunya Sumatera Barat, di mana dengan 4.845.998 jiwa penduduk, Sumatera Barat memiliki 14 kursi dari seharusnya 11 kursi. Di sisi lain, juga ada propinsi yang mengalami kekurangan jumlah kursi. Seperti Riau dan Kalimantan Utara yang mengalamikekurangan kursi. Riau dengan jumlah penduduk sebanyak 5.543.031 hanya dialokasikan 11 kursi DPR dariseharusnya 13 kursi (Perludem:2014).

Guna mengatasi persoalan disproporsionalitas penentuan alokasi kursi, penerapan alokasi kursi berdasarkan prinsip kesetaraan atau prinsip one person, one vote, one value (OPOVOV) yang harus dilakukan, bukanlah menambah kursi. Sesuai prinsip kesetaraan nasional, alokasi kursi antara Jawa dan Luar Jawa harus dibagi sama banyak dan dipisahkan. Pembagian jawa dan luar Jawa diperlukan agar penentuan alokasi kursi bukan semata berdasarkan jumlah penduduk melainkan juga faktor wilayah.

Sebanyak 50% kursi DPR dialokasi untuk Jawa yang dihuni oleh lebih kurang 57,5% penduduk Indonesia, dan 50% lainnya dialokaasikan untuk luar Jawa. Nilai kursi untuk di Jawa ditentukan berdasarkan 57,5% pendudukan dibagi dengan 50% kursi DPR atau sebanyak 280 kursi. sedangkan nilai masing-masing dari 280 kursi untuk luar Jawa ditentukan dengan membagi 46.5% penduduk dengan 280 kursi. Hasil penentuan nilai kursi itulah kemudian yang dijadikan dasar dalam menentukan alokasi kursi di setiap propinsi atau daerah pemilihan.

Penutup       

Dengan beberapa pertimbangan di atas, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unversitas Andalas berpandangan:

  1. Penambahan jumlah kursi DPR tidak diperlukan. Sebab alasan peningkatan kinerja dalam menyerap aspirasi masyarakat dapat dilakukan tanpa harus menambah jumlah kursi DPR RI. Bahkan, penambahan jumlah kursi DPR tidak akan berkorelasi dengan peningkatan kinerja DPR;
  2. Untuk mengatasi persoalan disproporsionalitas alokasi kursi, Pemerintah dan DPR cukup melakukan realokasi kursi dari daerah pemilihan yang memiliki kerterwakilan yang berlebih kepada daerah pemilihan yang dinilai kurang keterwakilannya dengan mempertimbangkan kesetaraan nasional dan kesetaraan Jawa dan luar Jawa.
  3. Penambahan jumlah alokasi kursi DPR hanya akan menambah beban keuangan negara dan kontradiktif dengan sikap pemerintah yang menggalakan program-program untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

 

Padang, 27 Mei 2017

Tim Peneliti

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Kontak Peneliti :

  1. Khairul Fahmi : 085263585857
  2. Nurul Fajri : 085219729239

Tulisan dalam bentuk pdf dapat diunduh di sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top