Press Release “Tolak Kapolri dari Tersangka Korupsi”

Polemik terkait pengajuan calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Budi Gunawan (BG) oleh Presiden Jokowi kian rumit. Proses fit and proper test dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap calon itu bertentangan dengan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan BG sebagai Tersangka kasus korupsi. Persetujuan DPR itu mengalihkan “bola panas” kepada Presiden untuk menentukan dilantik atau tidaknya BG sebagai Kapolri.

Meskipun persetujuan DPR diperlukan sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, namun pencalonan tersebut bertentangan dengan Pasal 5 angka 5 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang menentukan bahwa kewajiban penyelenggara negara untuk tidak terlibat korupsi. Padahal Pemerintahan Joko Widodo berjanji untuk melantik Kapolri yang bebas korupsi sebagaimana poin (ii) program kampanyenya.

Pengajuan Tersangka kasus korupsi sebagai Kapolri jelas bertentangan dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara terutama asas professional dan akuntabilitas. Sulit bagi seorang Kapolri untuk bertindak profesional dan akuntabel apabila dalam menjalankan jabatannya berstatus Tersangka kasus korupsi. Akibatnya, tindakan Jokowi yang mengajukan Kapolri dengan terburu-buru juga mengindikasikan pemerintahan tidak dilaksanakan secara profesional dan akuntabel.

Ketidak-profesionalan dan tidak akuntabel tersebut dapat menggiring Presiden melanggar konstitusi terutama syarat pelanggaran hukum dan perbuatan tercela sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7A UUD 1945. Pelanggaran Presiden terhadap ketentuan tersebut dapat menggiring kepada proses pemakzulan. Itu sebabnya dalam pengajuan calon Kapolri kali ini, Presiden harus mewaspadai persetujuan DPR. Jangan sampai persetujuan DPR itu adalah langkah untuk memakzulkan Presiden.

Melihat kondisi tersebut, maka Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Integritas Sumbar, berdasarkan kajiannya menuntut:

  1. Presiden Jokowi untuk tidak melantik figur yang menjadi Tersangka kasus korupsi sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia;
  2. Presiden untuk mewaspadai langkah-langkah kubu oposisi dalam menciptakan ruang melakukan pemakzulan presiden yang dapat menggoncang stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara;
  3. Presiden menemukan calon Kapolri yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Demikian tuntutan ini disampaikan. Terima kasih.

 

Padang, 15 Januari 2015

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Integritas Anti Korupsi Sumbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top